Postingan
kali ini penulis ambilkan tulisan IWAN PRANOTO yang menarik untuk direnungkan
bagi kita para guru maupun pengamat pendidikan, juga para politisi maupun
pengambil kebijakan khususnya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.Beliau
adalah Guru Besar Matematika ITB.
Memang sungguh tak pantas sebenarnya pada abad
ke-21 ini masih ada anak-anak kita yang belum memperoleh pendidikan wajar.
Padahal, teman-temannya di Jakarta dan bahkan di Palu, Sulawesi Tengah,
bersekolah dengan guru lengkap bahkan berpendidikan magister.Karena itu,
gagasan penggunaan teknologi belajar merupakan pintu peluang terbesar negara
menyediakan kesempatan belajar bermutu bagi anak-anak.
Berikut
tulisan lengkapnya yang dilansir dari http://print.kompas.com/baca/2015/03/03/Paradoks-Teknologi-Belajar
PARADOKS TEKNOLOGI BELAJAR
Oleh
: IWAN PRANOTO
Bagi
sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas baik dan dilayani guru bermutu,
penyediaan teknologi belajar bagi para murid adalah suatu kemewahan.
Teknologi
untuk belajar di sekolah yang sudah baik merupakan unsur pelengkap atau
penghias semata, bukan kebutuhan. Jika tak tersedia teknologi belajar pun, para
siswa tetap akan dapat belajar bersama guru.
Namun,
sebaliknya, bagi sekolah-apalagi masyarakat tanpa sekolah-di pedalaman dan
tanpa fasilitas, mungkin pula tak memiliki guru memadai, teknologi belajar
merupakan kebutuhan. Teknologi belajar bagi anak-anak di daerah terpencil
merupakan keharusan. Pada dekade kedua abad ke-21 ini, teknologi juga mungkin
satu-satunya peluang bagi anak-anak di pelosok untuk belajar dengan mutu tak
kalah dari temannya di perkotaan.
Inilah
paradoks dalam teknologi belajar. Di perkotaan dengan fasilitas pendidikan
baik, teknologi belajar suatu kemewahan; di pedalaman, teknologi belajar justru
kebutuhan.
ANAK
Saat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengutarakan gagasan
pemanfaatan tablet atau sabak elektronik (sabak-el) sebagai media belajar,
beberapa pihak meragukan.
Umumnya
keraguan bersumber pada fakta infrastruktur yang belum memadai, seperti
jaringan listrik dan internet. Juga ada suara yang takut anak akan
memanfaatkannya guna mengakses informasi tak pantas. Malah ada yang berkata
bahwa pemberian sabak sebagai ganti buku ajar untuk saat ini belum mendesak,
bahkan akan membuat perbandingan pendidikan di kota besar dengan di
pelosok-pelosok semakin tidak seimbang.
Semua
ramalan serta komentar bernada tak positif tersebut sahih. Hanya para
pengkritik itu keliru membayangkan sabak-el ini untuk diterapkan di perkotaan
atau malah di seluruh Indonesia, secara nasional.
Saat
ini masih banyak daerah terpencil, sulit dijangkau, terjebak konflik, atau
terkena bencana. Akibatnya, anak-anak di daerah seperti ini mau tak mau harus
menelan layanan pendidikan ala kadarnya.
Kerap
terjadi, hanya ada satu guru di satu-satunya sekolah di desa terdekat. Guru
seorang itu harus mengampu semua mata pelajaran, mulai dari Agama, Bahasa
Indonesia, Kimia, Matematika, sampai Olahraga. Di beberapa daerah lain, ada
prajurit TNI yang berinisiatif mengajar anak- anak di sana.
Banyak
daerah terpinggirkan itu harus dicapai dengan berjalan kaki menembus hutan satu
atau dua malam. Ada pula yang harus dicapai dengan kapal yang tak selalu
tersedia. Ada pula yang harus dicapai dengan pesawat terbang perintis. Inilah
keadaan geografis Indonesia yang harus dipahami oleh penentu kebijakan dan
politisi dalam bidang kebijakan pendidikan.
Dengan
keadaan penuh kendala seperti itu, bagaimana menyediakan pendidikan bermutu?
Menyediakan
guru cakap dan bergairah mengajar di daerah terpencil tentu harus dilanjutkan
dan digelorakan. Namun, berapa banyak guru hebat seperti itu yang sanggup
disediakan dalam waktu satu-dua tahun ke depan? Lalu, dalam dua tahun itu,
apakah anak-anak yang terpinggirkan dan terabaikan ini akan dibiarkan juga tak
memperoleh kesempatan belajar?
Sungguh
tak pantas sebenarnya pada abad ke-21 ini masih ada anak-anak kita yang belum
memperoleh pendidikan wajar. Padahal, teman-temannya di Jakarta dan bahkan di
Palu, Sulawesi Tengah, bersekolah dengan guru lengkap bahkan berpendidikan
magister.
Karena
itu, gagasan penggunaan sabak atau teknologi lainnya merupakan usulan yang
layak dipikirkan. Terlebih lagi kemungkinan teknologi belajar merupakan pintu
peluang terbesar negara menyediakan kesempatan belajar bermutu bagi anak-anak.
Benar
bahwa di daerah terpencil belum ada infrastruktur yang memadai. Justru itu
menandakan, ini saat yang tepat untuk merancangnya dengan biaya sehemat
mungkin. Ini investasi pendidikan untuk 10-20 tahun ke depan. Ini saatnya
rekayasawan kita merekacipta sumber daya listrik alternatif murah yang
memungkinkan mengisi sumber daya sabak-el.
Surya,
angin, bahkan sumber daya listrik kinetik putaran tuas tangan anak sendiri
merupakan sumber daya alternatif. Beberapa desain sudah mampu mengubah putaran
tuas oleh anak dalam 3 menit cukup guna mengaktifkan laptop 1 jam.
Tak
ada jaringan internet juga bukan masalah karena sabak-el dapat dimanfaatkan
dengan modus luar jaringan (luring). Dengan mempersiapkan bahan ajar dalam
kartu memori, sabak-el dapat berfungsi sebagai sumber bahan ajar dan dapat
diperbarui datanya dengan mudah secara berkala, yakni dengan mengirimkan kartu
memori kecil itu. Ini jauh lebih mungkin dan hemat ketimbang mengirim buku
ajar.
Keuntungan
lain dari penggunaan sabak-el ini ialah peluang melokalkan pembelajaran IPA,
IPS, Matematika, dan sebagainya, seperti ke dalam bahasa ibu. Dengan pendekatan
buku ajar tradisional, tentunya hal ini rumit dan mahal, tetapi justru menjadi
mungkin diwujudkan dengan teknologi.
GURU
Jika
guru di sekolah terpencil mengikuti program pelatihan di kota terdekat, guru
akan meninggalkan sekolah dan muridnya akan terganggu. Belum lagi isi pelatihan
guru saat ini kerap belum ke konsep mendalam karena jumlah dan kapasitas
widyaiswara masih kurang.
Akan
tetapi, dengan sabak-el, guru dapat langsung belajar dan mempraktikkan cara
membelajarkan satu topik tertentu pada waktu yang singkat, tanpa perlu
meninggalkan sekolahnya. Jika harus membelajarkan perkalian bilangan bulat hari
Senin, misalnya, pada hari Minggu guru dapat langsung menyimak klip video lima
menitan bagaimana mengajarkannya. Ini hemat dan akan tepat sasaran.
Seperti
juga bagi murid, bagi guru di daerah terpencil, teknologi belajar juga
kebutuhan. Program sabak-el ini layak untuk dikaji lebih rinci. Kemudian, jika
dianggap layak, perlu diujicobakan dalam skala kecil dahulu untuk lokasi
tertentu dan satu atau dua mata pelajaran saja. Uji coba untuk pulau yang
terpencil, misalnya.
Ada
yang skeptis bahwa program ini akan dikorupsi. Tentu ada kemungkinan itu.
Bukankah buku ajar tradisional atau fasilitas pendidikan juga diselewengkan?
Kurang bijak jika kesempatan belajar anak-anak terpinggirkan ini dipupuskan
hanya karena kecurigaan akan ada orang jahat yang tega memalak dananya. ***
IWAN
PRANOTO (Guru Besar Matematika ITB)
Sumber : Kemendiknas
Gambar : Internet
Sumber : Kemendiknas
Gambar : Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini, tapi hindari spam ya...
Pastikan URL Anda tidak broken sebab penulis akan selalu mengunjungi Anda.
Terima kasih atas saran dan kritik Anda