Kualitas Guru
Betapa strategisnya peran guru dalam
membentuk Indonesia yang lebih baik itu, utamanya dari perspektif pengembangan
sumberdaya manusia. Meski bukan satu-satu faktor, sejarah membuktikan bahwa
guru dalam arti yang seluas-luasnya menjadi unsur yang menentukan bagi
keberhasilan sebuah bangsa. Konon, ketika Jepang luluh-lantak setelah dibom
atom pada tahun 1945, pertanyaan yang meluncur dari Kaisar Hirohito bukanlah
seperti apa dan berapa kerusakan yang terjadi melainkan berapa orang guru yang
masih tersisa?
Apa peran guru selanjutnya…?????
Silahkan baca tulisan Ibnu Hamid,
Kepala Pusat Informasi dan Hukum Kemendikbud, berikut selengkapnya…..
Guru dan Ramalan McKensey
Oleh : Ibnu Hamad
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Dari dua minggu terakhir September
2012 hingga minggu pertama Oktober 2012, ramalan McKinsey & Co banyak
menghiasi media massa di Tanah Air. Maklumlah, dalam laporannya bertajuk The
Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential, McKensey menyebutkan
pada tahun 2030 ekonomi Indonesia akan menempati posisi ke-7 Ekonomi Dunia
mengalahkan Jerman dan Inggris.
Menurut McKinsey, terdapat sejumlah
indikasi Indonesia menjadi negara besar. Untuk 2012 ini, skala ekonomi
Indonesia menempati posisi 16 besar dunia dengan pertumbuhan yang relatif
stabil, yaitu sekitar 6,5% setiap tahun. Indonesia juga mampu melewati masa
krisis ekonomi yang melanda dunia. Indikasi lainnya, Indonesia mampu
meningkatkan jumlah investasi asing dalam beberapa tahun terakhir, sebagai
misal US$ 20 miliar pada tahun 2011 dan proyeksi sebesar US$ 28 miliar untuk
tahun 2012.
Pada tahun 2030 itu perekonomian
Indonesia akan ditopang oleh empat sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian
dan perikanan, serta sumber daya alam. Ekonomi Indonesia juga akan terus tumbuh
dengan didorong oleh kekuatan regional. Dalam 15 tahun ke depan, 1,8 miliar
orang kelas konsumsi di dunia sebagian besar akan berada di Asia.
Pada saat itu, kata McKinsey
pertumbuhan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia juga akan meningkat dari
45 juta orang pada tahun 2012 menjadi 90 juta orang pada 2030. Daya beli mereka
juga signifikan karena pendapatan bersihnya diperkirakan sebesar US$ 3.600 per
tahun. Terbayanglah, saat itu Indonesia akan menjadi negara yang makmur.
Peran Guru
Banyak kalangan yang optimis dengan
ramalan McKensey ini, terutama dari kalangan pemerintah. Namun mereka juga
sadar bahwa untuk mencapai kesuksesan itu Indonesia membutuhkan banyak tenaga
ahli dan kaum wirausahan.
Kenyataan, hingga tahun 2012 ini
Indonesia masih sangat kekurangan tenaga ahli. Indonesia membutuhkan sekitar 25
ribu insinyur dan ribuan teknokrat. Padahal tenaga ahli ini sangat diperlukan
untuk mengolah sumber daya alam, mengembangkan pertanian dan perikanan serta
melaksanakan usaha di bidang jasa yang menjadi penopang masa depan ekonomi
Indonesia seperti dinyakan McKensey di atas.
Tentu saja, para gurulah yang bisa
menjawab tantangan, menghasilkan para tenaga ahli tersebut. Kenapa para guru?
Sebab kita bicara tahun 2030, bicara soal masa depan. Kita tidak dapat
membayangkan bagaimana menyiapkan tenaga ahli untuk mengelola Indonesia di
tahun 2030 tanpa guru. Di tangan para gurulah, mereka yang akan menjadi tenaga
ahli itu memperoleh pendidikan dan pengajaran!
Siapakah mereka yang akan menjadi
tenaga ahli di tahun 2030 itu? Mereka adalah penduduk Indonesia yang kini
berusia antara 5 hingga 20 tahun dimana 99%-nya merupakan murid-murid SD hingga
SMA. Tak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai sekitar 100 juta orang.
Sebab, data tahun 2010 menunjukkan bahwa struktur penduduk Indonesia terdiri
dari dari yang berusia 0-9 tahun berjumlah sekitar 45 juta; 10-19 tahun sekitar
43 juta; dan 20-29 sekitar 41 juta.
Benar, ada sekitar 100 juta
siswa-siswi yang siap dijadikan tenaga ahli guna mengelola Indonesia di tahun
2030. Andaikan kita bisa menghasilkan separuh saja dari jumlah itu, Indonesia
akan memperoleh 50 juta tenaga ahli hingga bukan mustahil ramalan McKensey itu
bisa menjadi kenyataan. Dan di tangan para gurulah kini harapan itu tergenggam.
Betul, yang kita butuhkan memang
tenaga ahli, bukan lulusan SMA apalagi SD. Akan tetapi masa-masa menjadi siswa
mulai dari SD hingga SMA bukan saja tidak bisa dilompati begitu saja melainkan
pula menjadi kontinum waktu yang sangat penting dalam membentuk karakter,
pengembangan landasan pengetahuan, dan penyemaian keterampilan.
Bukankah kita ingat bahwa orang
harus belajar membaca, menulis, dan menghitung serta belajar mengenali
lingkungannya terlebih dahulu sebelum menjadi sarjana, wirausahawan dan tenaga
terampil lainnya. Dan kepada para guru pertama-tama kita semua memempercayakan
anak-anak kita.
Kualitas Guru
Betapa strategisnya peran guru dalam
membentuk Indonesia yang lebih baik itu, utamanya dari perspektif pengembangan
sumberdaya manusia. Meski bukan satu-satu faktor, sejarah membuktikan bahwa
guru dalam arti yang seluas-luasnya menjadi unsur yang menentukan bagi
keberhasilan sebuah bangsa. Konon, ketika Jepang luluh-lantak setelah dibom
atom pada tahun 1945, pertanyaan yang meluncur dari Kaisar Hirohito bukanlah
seperti apa dan berapa kerusakan yang terjadi melainkan berapa orang guru yang
masih tersisa?
Lantas, berapa guru yang dimiliki
Indonesia? Data tahun 2011/2012 menunjukkan jumlahnya diperkirakan 2,9 juta
orang. Berdasarkan rasionya dengan murid adalah 1:18. Bandingkan dengan Korea,
1:30 dan Jerman, 1:20. Alhasil dari segi jumlah sesungguhnya sudah memadai,
hanya saja harus diakui memang distribusinya tidak merata antara daerah
perkotaan dan perdesaan.
Selain masalah distribusi yang disebabkan
oleh penerapan otonomi daerah, persoalan kualitas guru juga banyak disoroti.
Empat kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional belum
sepenuhnya dikuasai secara merata oleh setiap guru kita. Karena itulah
peningkatan kualitas guru merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pentingnya kualitas guru sering
diilustrasikan dengan analogi seperti ini: jika ada seorang dokter yang
malpraktek, maka akibatnya hanya mengenai pasien yang ditangani sang dokter
dengan resiko tertinggi kematian sang pasien. Tetapi jika seorang guru salah
mendidik, maka yang mati bukan hanya akal tetapi hati dan jiwa sang murid.
Itupun masih berimbas pada anak keturunannya jika kelak sang murid menjalani
kehidupan orang dewasa.
Yang dimaksud dengan peningkatan
kualitas guru di sini hendaknya tidak hanya diartikan dengan uji kompetensi
guru (UKG). Pada dasarnya setiap guru harus terus menerus menambah
kompetensinya masing-masing dari waktu ke waktu. Sedang berlangsung atau tidak
UKG, setiap guru sudah sepatutnya mengukur sendiri serta meningkatkan keempat
kompetensi dimaksud. Dengan demikian kualitas pendidikan dan pengajaran terus
bertambah tiada henti.
Jika peningkatan kualitas
berkelanjutan ini terjadi niscaya bukan hanya para murid yang diuntungkan,
melainkan pula para orang tua atau wali murid. Kalau para gurunya berkualitas
terbaik, tentu mereka tak perlu menambah kegiatan putera-puteri mereka dengan
beragam les yang bukan saja menghabiskan waktu sosial anak-anak akan tetapi
juga menambah beban biaya dan perhatian bagi para orang tua. Lebih dari itu,
guru dengan kualitas terbaik menjamin tercapainya harapan bangsa seperti
diramalkan McKensey (*)
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan disini, tapi hindari spam ya...
Pastikan URL Anda tidak broken sebab penulis akan selalu mengunjungi Anda.
Terima kasih atas saran dan kritik Anda